FOKUSMALANG - Malang bisa dibilang
wilayah dengan 1000 budaya. Multi kultural dan ras, selama berabad-abad hingga
sekarang hidup aman tentram dan rukun di wilayah berjuluk ‘Bhumi Arema’ ini.
Salah satunya adalah
tradisi sogugan khas masyarakat Pulau Garam Madura yang lestari berkembang di
wilayah pinggiran Kota Malang tepatnya di Kecamatan Kedungkandang. Bagaimana tradisi
unik ini? mari kita simak bersama
Dilansir dari Kaskus,Sogug adalah tradisi di madura
dan daerah yang terpengaruh oleh budaya madura yang kuat. sogug sendiri adalah
prosesi memberikan uang sumbangan, atau di jawa dikenal sebagai buwuhan. akan
tetapi ada prosesi yang unik dari tradisi sogug, yaitu diiringi tradisi
gending, musik dan lebih terkesan terbuka tidak tertutup seperti dalam tradisi
jawa.
Perkimpoian dengan
upacara model Sogugan masih kita jumpai didaerah yang kental suku madura (mis
Kab.Pasuruan, Probolinggo, Lumajang dll).
Tradisi sogugan
terkait dengan aktifitas sumbang menyumbang dimana sumbangan ini nilainya dapat
melebihi dari hal biasanya (Becek,bowo :jawa) misalnya kalau biasanya orang
menyumbang Rp.25.000 s/d Rp.50.000.- disogugan nilainya diatas Rp.100.000,-
atau seharga seekor sapi pada waktu itu.
Tradisi yang
dilestarikan ialah upacara penyambutan memberi sumbangan secara rinci sebagai
berikut : penyumbang biasanya membawa uang (nilai cukup besar) dan membawa
“jodhang” (peti kayu berbentuk panjang, berisi makanan dan biasaya dipikul oleh
dua orang). Penyogug (penyumbang) ini disambut.
Pemilik rumah di pintu depan terop, dengan iringan gamelan kenong telo’ dan seorang pesinden yang suaranya amat merdu.
Penyumbang dan
pemilik rumah biasanya diwakili acam (juru bicara), di depan terop tersebut
berdialog singkat, yang intinya bahwa pihak penyumbang dengan ikhlas tulus
memberi sumbangan demi kelestarian hubungan persaudaran/kekeluargaan.
Dialog macam
tersebut dilanjutkan dengan upacara serah terima sumbangan,sambil menari yang
diwakili kedua cacam, iringan musik/gamelan kenong telo’ yang dimaksudkan
misalnya gendhing walang kekek, pelok temor, gendhing gantung, dan gendhing
jula-juli jawa timuran.
Penghitungan uang di
tempat yang telah ditetapkan, disaksikan oleh para tamu dan undangan yang lain.
Uang sumbangan disimpan di bokor dan dijaga secara khusus. Kadangkala uang
sumbangan itu dirangkai pada sebilah bambu, semakin besar sumbangan yang
diberikan, semakin tinggi status sosial penyumbang di masyarakatnya.
Hal ini juga
mendapat perhatian dari salah satu tokoh wanita di Kota Malang Laily Fitriyah
Liza Min Nelly yang hadir. Menurutnya ini adalah budaya yang unik dan semoga
bisa terus lestari, menambah khasanah budaya di Kota Malang sebagai salah satu
destinasi wisata.
. “Ini budaya yang sangat
bagus. Kita bisa memperlihatkan adanya keterbukaan,” ungkapnya.
Wakil Sekretaris Umum KONI Kota Malang itu menilai, esensi
sogukan memberikan banyak pelajaran.
“Ini kan termasuk budaya
lokal juga, jadi harus dilestarikan. Harapannya, budaya ini jagan sampai
punah,” lanjutnya.